PENDAHULUAN
Dalam budidaya sapi potong maupun
sapi perah, adanya penampilan reproduksi optimum merupakan hal yang paling
menentukan keberhasilan produktivitasnya. Salah satu penampilan reproduksi
optimum yang dimaksud adalah jarak beranak (calving interval) optimum dengan
kisaran 12 – 15 bulan untuk kondisi peternakan rakyat di Indonesia. Hasil
penampilan reproduksi optimum dapat dicapai bila program pengawinan (breeding)
alami maupun penggunaan inseminasi buatan (IB) dilakukan dengan tepat saat
setelah usia pubertas pada sapi dara atau segera setelah fase pasca beranak
pada sapi induk. Sapi perah atau sapi potong diharapkan kawin kembali dalam
waktu 2 – 3 bulan setelah beranak, sehingga sapi dapat bunting kembali dalam
waktu 3 – 4 bulan pasca beranak. Kasus infertilitas yang menonjol pada sapi
perah dan sapi potong rakyat di Indonesia adalah tingginya kejadian anestrus
post partum (tidak birahi pasca beranak). Kejadian ini mengakibatkan
terlambatnya kawin kembali pasca beranak, sehingga panjangnya beranak melebihi
18 bulan.
Peningkatan mutu genetik sapi
potong dan perah di Indonesia sudah lama diupayakan oleh pihak pemerintah,
dengan introduksi teknologi reproduksi inseminasi buatan (IB) secara komersial
sejak 1976. Keunggulan teknologi IB pada sapi antara lain efisiensi pemanfaatan
pejantan unggul, peningkatan mutu genetis sapi-sapi lokal, dimungkinkan
perkawinan silang antar bangsa, dihindari penyakit menular yang ditularkan
lewat perkawinan alam (sexually transmissible diseases), dimungkinkan pemilihan
semen pejantan tertentu dan peningkatan efisiensi pemuliabiakan (breeding
efficiency) sapi perah dan potong. Dengan aplikasi inseminasi buatan juga
dimungkinkan persilangan antar bangsa sapi berbeda, yang secara alami tidak
mungkin dilakukan akibat perbedaan ukuran berat badan.
Kelemahan aplikasi teknologi IB
penting untuk diperhatikan, antara lain memerlukan infrastruktur dan sumber
daya manusia yang memadai, kalau dilakukan dengan kurang cermat akan memudahkan
menimbulkan infertilitas sapi betina, sangat mungkin terjadi kasus kawin silang
dalam (inbreeding) bila pencatatan atau rekording tidak tertib, serta merupakan
wahana penularan penyakit menular yang sangat efektif bila pejantannya mengidap
penyakit infeksi menular.
Kendala dalam pelaksanaan
aplikasi IB pada sapi perah dan potong milik rakyat di Indonesia yang paling
umum terjadi adalah sulitnya pengenalan birahi (estrus) pada sapi. Birahi sapi
sering sulit dikenali karena banyaknya kasus anestrus, birahi tenang (silent
heat, subestrus), sehingga menimbulkan masalah sulitnya pengenalan atau deteksi
birahi yang tidak tepat, akibatnya terjadi ketidaktepatan waktu inseminasi, dan
akhirnya terjadi kegagalan fertilisasi. Inseminasi buatan yang dilakukan diluar
saat birahi sesungguhnya (standing heat) di samping tidak akan menghasilkan
konsepsi juga sangat berresiko menimbulkan infeksi dan peradangan endometrium
(endometritis). Kendala lain yang menyebabkan kegagalan konsepsi pada aplikasi
IB di Indonesia adalah banyaknya kasus tersembunyi, berupa proses ovulasi
tertunda (delayed ovulation), yang juga akhirnya menyebabkan kegagalan
fertilisasi.
Untuk mengatasi permasalahan
aplikasi inseminasi buatan menuju ke optimalisasi hasil konsepsinya telah
dikembangkan teknik sinkronisasi estrus atau penyerentakan birahi dengan
memanipulasi pola hormon reproduksinya. Sinkronisasi estrus yang dimaksud
sebetulnya adalah penyerentakan birahi pada sekelompok ternak yang diikuti
dengan proses ovulasi yang fertil. Adapula istilah induksi estrus yang bermakna
sama dengan sinkronisasi estrus, namun pengertiannya hanya aplikasi pada ternak
secara individual, bukan secara masal atau kelompok. Peternakan sapi perah dan
potong di Indonesia sudah secara insidentil mulai melakukan aplikasi
sinkronisasi estrus dalam skala terbatas.
Dalam melakukan sinkronisasi
estrus sapi harus lebih dahulu dipahami mengenai faal dan endokrinologi
reproduksi, fungsi ovaria termasuk perkembangan folikel dominan dan fungsi
korpus luteum. Buku ajar ini memaparkan tentang teori dasar dari sinkronisasi
estrus untuk sapi, serta modifikasinya yang sesuai dengan kondisi peternakan
sapi rakyat di Indonesia berdasarkan pengalaman penyusun sebagai praktisi
reproduksi sapi perah maupun sapi potong.
Fungsi Korpus Luteum
Korpus luteum merupakan suatu
kelenjar endokrin yang berkembang dari folikel Graaf setelah ovulasi, berasal
dari sel-sel teka dan granulosa. Peran utama korpus luteum adalah sintesa dan
sekresi progesteron untuk pemeliharaan kebuntingan dan pengaturan siklus
estrus. Sintesa dan sekresi progesteron diatur oleh mekanisme luteotropik dan
luteolitik. Karena stimuli luteotropik dan luteolitik terjadi berganti-ganti
selama siklus estrus dan kebuntingan, maka stimuli dan hambatan sintesa dan
sekresi progesteron pada keseimbangan stimuli ini.
Korpus luteum sapi mempunyai 2
tipe sel yang berbeda: sel-sel lutea m, dan sel-sel lutea kecil, denganmbesar,
dengan diameter 30 – 50 m, keduanya
mempunyai kemampuan sekresi progesteron.mdiameter 15 – 20 Jumlah sel-sel lutea besar lebih sedikit
dibanding dengan sel-sel lutea kecil, dengan perbandingan 1 : 20, namun volume
total sel-sel besar lebih banyak dibanding dengan sel-sel lutea kecil,
perbandingan 30% : 16% dari seluruh volume korpus luteum. Pada korpus luteum
sapi, sel-sel lutea kecil berasal dari sel-sel teka dan sel-sel besar berasal
dari sel-sel granulosa.
Kelenjar pituitari anterior
menghasilkan LH yang dianggap sebagai hormon luteotropik primer pada sapi.
Progesteron disekresi dalam pola pulsatil dengan frekuensi lebih tinggi
daripada pembebasan LH. Hampir setiap pulsatil FSH pada awal atau pertengahan
fase lutea pada sapi diikuti dengan pulsatil progesteron. Ada hubungan antara
pulsatil FSH dan pembebasan progesteron, sehingga di samping LH, juga FSH
diduga mempunyai sifat luteotropik atau membantu pertumbuhan korpus luteum.
Jaringan lutea memperoleh
sebagian besar aliran darah ovaria. Aliran darah ke jaringan lutea dan sekresi
progesteron berkaitan sangat erat selama siklus estrus. Korpus luteum mampu
menghasilkan progesteron dalam jumlah besar dalam waktu beberapa hari setelah
ovulasi, sehingga perluasan jaringan vaskuler oleh sel-sel granulosa juga
terjadi dengan cepat. Mendekati ovulasi, membran dasar dari folikel preovulasi
sobek dan pembuluh-pembuluh darah dari teka interna menembus lapisan sel-sel
granulosa. Lapisan sel-sel granulosa diinvasi oleh kapiler-kapiler darah dalam
waktu beberapa jam setelah ovulasi. Perluasan jaringan vaskuler oleh korpus
luteum diduga karena faktor angiogenik dalam jaringan lutea sapi
PRINSIP SINKRONISASI ESTRUS PADA SAPI
Tujuan
dan Manfaat Sinkronisasi Estrus
Sinkronisasi atau induksi estrus
adalah tindakan menimbulkan birahi, diikuti ovulasi fertil pada sekelompok atau
individu ternak dengan tujuan utama untuk menghasilkan konsepsi atau
kebuntingan. Sinkronisasi estrus biasanya menjadi satu paket dengan pelaksanaan
IB, baik berdasarkan pengamatan birahi maupun IB terjadwal (timed artificial
insemination). Angka konsepsi atau kebuntingan yang optimum merupakan tujuan
dari aplikasi sinkronisasi estrus ini.
1.
Manfaat dari tindakan sinkronisasi estrus pada sapi
ada beberapa, antara lain:
Optimalisasi dan efisiensi pelaksanaan IB. Dengan teknik ini dimungkinkan pelaksanaan IB secara massal pada suatu waktu tertentu.
Optimalisasi dan efisiensi pelaksanaan IB. Dengan teknik ini dimungkinkan pelaksanaan IB secara massal pada suatu waktu tertentu.
2.
Mengatasi masalah kesulitan pengenalan birahi.
Subestrus atau birahi tenang yang umum terjadi pada sapi perah dan potong di
Indonesia dapat diatasi dengan teknik sinkronisasi estrus.
3.
Mengatasi masalah reproduksi tertentu, misalnya
anestrus post partum (anestrus pasca beranak).
4.
Fasilitasi program perkawinan dini pasca beranak
(early post partum breeding) pada sapi potong dan perah. Teknik ini dapat
digunakan untuk mempercepat birahi kembali pasca beranak, pemendekkan days open
(hari-hari kosong) dan pemendekkan jarak beranak.
Manajemen reproduksi resipien pada pelaksanaan transfer embrio sapi. Dalam program transfer embrio, embrio beku maupun segar (diambil dari sapi donor pada hari ke 7 setelah estrus) ditransfer ke resipien pada fase siklus estrus yang sama. Sinkronisasi estrus biasanya digunakan untuk maksud tersebut.
Manajemen reproduksi resipien pada pelaksanaan transfer embrio sapi. Dalam program transfer embrio, embrio beku maupun segar (diambil dari sapi donor pada hari ke 7 setelah estrus) ditransfer ke resipien pada fase siklus estrus yang sama. Sinkronisasi estrus biasanya digunakan untuk maksud tersebut.
Persyaratan Sinkronisasi Estrus
Pelaksanaan sikronisasi estrus
pada sapi membutuhkan persyaratan tertentu untuk mendapatkan hasil yang
optimum. Persyaratan tersebut antara lain:
1.
Sapi dalam keadaan tidak bunting. Hal ini sangat
penting, karena kalau sampai sapi bunting diberi perlakuan sinkronisasi estrus,
akan berakibat keluron atau abortus. Pemeriksaan kebuntingan dan alat
reproduksi sebelum perlakuan harus dilakukan secara cermat untuk memastikan
bahwa hewan tidak dalam keadaan bunting.
2.
Hewan harus mempunyai kesehatan alat reproduksi yang
baik. Adanya peradangan alat reproduksi, endometritis, metritis, vaginitis,
akan sangat berpengaruh pada hasil konsepsinya. Pemeriksaan klinis alat
reproduksi perlu dilakukan sebelum dilakukan perlakuan sinkronisasi estrus.
3.
Body condition score (BCS) hewan optimum, antara 3,0
– 3,5. Sinkronisasi estrus pada sapi dengan BCS Begitu pula sapi dengan BCS
terlalu tinggi > 4 juga berresiko rendahnya angka konsepsi.
4.
Khusus untuk sinkronisasi estrus menggunakan
prostaglandin F2a, hewan harus mempunyai korpus
luteum pada salah satu ovariumnya. Pemeriksaan
adanya korpus luteum angat diperlukan, mengingat PGF2a
target mempunyai organ korpus luteum. Sapi yang bersiklus estrus namun belum
mempunyai korpus luteum maka perlakuannya ditunda sampai terbentuk korpus
luteum yang berukuran cukup besar.
5.
Sebelum dan setelah perlakuan sinkronisasi estrus,
hewan harus diberi pakan yang memadai dalam kualitas dan kuantitasnya,
dihindarkan dari stres, karena hal tersebut sangat berpengaruh pada hasil
respon hormonal hewan.
Persyaratan tersebut di atas
sangat menentukan keberhasilan sinkronisasi estrus dan ovulasi yang fertil,
sehingga setelah perlakuan IB akan terjadi ovulasi, fertilisasi dan nidasi,
serta menghasilkan kebuntingan maksimum.
DASAR TEORI SINKRONISASI ESTRUS PADA SAPI
Sinkronisasi estrus
Suatu
cara untuk mengatasi problema sulitnya deteksi berahi yaitu dengan cara
penerapan teknis sinkronisasi birahi, baik dengan menggunakan sediaan
Progesteron dan Prostaglandin (PGF2a). Dengan tehnik ini problema deteksi berahi
dapat dieliminir, sehingga pelaksanaan inseminasi buatan dapat dioptimalisasi.
Penyerentakan berahi atau
sinkronisasi estrus adalah usaha yang bertujuan untuk mensinkronkan kondisi
reproduksi ternak sapi donor dan resipien. Sinkronisasi estrus umumnya menggunakan
hormon prostaglandin (PGF2a) atau kombinasi hormon progesteron dengan PGF2a.
Penggunaan teknik sinkronisasi berahi akan mampu meningkatkan efisiensi
produksi dan reproduksi kelompok ternak, serta mengoptimalisasi pelaksanaan
inseminasi buatan, mengurangi waktu dan memudahkan observasi deteksi berahi,
dapat menentukan jadwal kelahiran yang diharapkan, menurunkan usia pubertas
pada sapi dara, penghematan dan efisiensi tenaga kerja inseminator karena dapat
mengawinkan ternak pada suatu daerah pada saat yang bersamaan.
Kesuksesan program sinkronisasi
membutuhkan pengetahuan mengenai siklus berahi. Hari ke-0 dari merupakan hari
pertama estrus, pada saat ini biasanya perkawinan secara alami terjadi. Hormon
estrogen mencapai puncaknya pada hari ke-1 dan kemudian menurun, level
progesteron rendah karena Corpus Luteum (CL) belum terbentuk. Ovulasi terjadi
12-16 jam setelah akhir standing estrus. CL yang menghasilkan hormon
progesteron terbentuk pada tempat ovulasi dan secara cepat mengalami
pertumbuhan mulai dari hari ke-4 sampai ke-7, pertumbuhan ini diikuti dengan
peningkatan level progesteron. Mulai hari ke-7 sampai ke-16, CL menghasilkan
progesteron dalam level tinggi.
Selama periode ini, 1 atau 2 folikel
mungkin menjadi besar, tetapi dalam waktu yang singkat akan mengalami regresi,
kira-kira hari ke-16, prostaglandin dilepaskan dari uterus dan menyebabkan
level progesteron menjadi turun. Ketika level progesteron menurun, level
estrogen meningkat dan folikel baru mulai tumbuh, estrogen mencapai puncaknya
pada hari ke-20, diikuti tingkah laku estrus pada hari ke-21. Pada saat ini
siklus estrus kembali dimulai.
Proses sinkronisasi dengan
menggunakan preparat prostaglandin (PGF2a) akan menyebabkan regresi CL akibat
luteolitik, secara alami prostaglandin (PGF2a) dilepaskan oleh uterus hewan
yang tidak bunting pada hari ke-16 sampai ke-18 siklus yang berfungsi untuk
menghancurkan CL. Timbulnya berahi akibat pemberian PGF2a disebabkan lisisnya
CL oleh kerja vasokontriksi PGF2a sehingga aliran darah menuju CL menurun
secara drastis, akibatnya kadar progesteron yang dihasilkan CL dalam darah
menurun, penurunan kadar progesteron ini akan merangsang hipofisa anterior
melepaskan FSH dan LH, kedua hormon ini bertanggung jawab dalam proses
folikulogenesis dan ovulasi, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan
folikel. Folikel-folikel tersebut akhirnya menghasilkan hormon estrogen yang
mampu memanifestasikan gejala berahi. Kerja hormon estrogen adalah untuk
meningkatkan sensitivitas organ kelamin betina yang ditandai dengan perubahan
pada vulva dan keluarnya lendir transparan.
Prosedur Sinkronisasi Berahi
Sinkronisasi berahi pada kerbau seperti pada sapi, paling umum menggunakan
prostaglandin atau senyawa analognya. Dengan tersedianya prostaglandin di
pasaran memungkinkan pelaksanaan sinkronisasi berahi di lapangan beberapa
senyawa prostaglandin yang tersedia antara lain 1) Reprodin (Luprostiol, Bayer,
dosis 15 mg), 2) Prosolvin (Luprostiol, Intervet, dosis 15 mg), 3) Estrumate
(Cloprostenol, ICI, dosis 500 μg) dan Lutalyse (Dinoprost, Up John, dosis 25
mg). Cara standar sinkronisasi berahi meliputi 2 kali penyuntikan prostaglandin
dengan selang 10-12 hari. Berahi akan terjadi dalam waktu 72-96 jam setelah
penyuntikan kedua.
Pelaksanaan inseminasi dilakukan 12
jam setelah kelihatan berahi, atau sekali pada 80 jam setelah penyuntikan
kedua. Prosedur yang digunakan adalah: Ternak yang diketahui mempunyai corpus
luteum (CL), dilakukan penyuntikan PGF2a satu kali. Berahi biasanya timbul 48
sampai 96 jam setelah penyuntikan. Apabila tanpa memperhatikan ada tidaknya CL,
penyuntikan PGF2a dilakukan dua kali selang waktu 11-12 hari. Setelah itu
dilakukan pengamatan timbul tidaknya berahi 36-72 jam setelah peyuntikan kedua.
Pemberian PGF2á analog dapat menyebabkan luteolisis melalui penyempitan vena
ovarica yang menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam ovarium. Berkurangnya
aliran darah ini menyebabkan regresi sel-sel luteal. Regresi sel-sel luteal
menyebabkan produksi progesteron menurun menuju kadar basal mendekati nol nmol/lt,
dimana saat-saat terjadinya gejala berahi. Regresi korpus luteum menyebabkan
penurunan produksi progesteron (Husnurrizal. 2008).
PENUTUP
Teknik sinkronisasi estrus pada
sapi baik dengan berbasis penggunaan PGF2a
maupun implan progestagen intravagina dapat digunakan untuk perbaikan
efisiensi reproduksi sapi perah dan potong pada peternakan rakyat di Indonesia.
Inseminasi buatan terjadwal mengikuti sinkronisasi estrus memberikan angka
konsepsi yang sama dengan perlakuan pada birahi alami. Biaya yang harus
dikeluarkan oleh peternak sapi masih jauh lebih kecil dibanding dengan kerugian
bila tanpa aplikasi teknik ini. Teknik ini sangat layak untuk diaplikasikan ke
sapi milik rakyat, karena dapat memberikan peningkatan performan reproduksi
serta menghindarkan kerugian lebih lanjut karena masalah subfertilitas maupun
infertilitas yang tidak perlu. Performan reproduksi yang dengan sangat nyata
dihasilkan dari aplikasi ini, adalah pemendekan jarak beranak, dari beranak
tiap 18 – 20 bulan menjadi 12 – 15 bulan.
Pemilihan metode sinkronisasi
menggunakan PGF2a atau implan progesterone intravagina
berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain ada tidaknya korpus luteum dan
status siklus estrusnya. Kedua metode mempunyai spesifitas masing-masing, namun
memiliki tingkat biaya yang hampir sama, begitu pula dengan fertilitas dan
hasil konsepsinya. Tingkat konsepsi dari teknik sinkronisasi estrus dikatakan
optimum bila hasil inseminasi buatannya sama dengan dari estrus alami, yakni
lebih dari 60%.
Implementasi teknik sinkronisasi
estrus secara luas diharapkan dapat meningkatkan kinerja reproduksi sapi,
meningkatkan produktivitas sapi, meningkatkan penghasilan peternak dan membantu
program pemerintah dalam swasembada susu dan daging.
DAFTAR REFERENSI
Anonim.,
2008. Inseminasi Buatan (IB) atau Kawin Suntik.
http://www.vet-klinik.com powered. 5 january, 2009, 12:52
Husnurrizal.
2008. Sinkronisasi birahi dengan preparat hormon prostaglandin (pgf2a).
Lab. Reproduksi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala.
(http://www.foxitsoftware.com).
http://vetandhie.blogspot.com/2011/01/sinkronisasi-estrus.html diakses pada tanggal 25 Juni
2011
http://www.facebook.com/note.php?note_id=351797730517 diakses pada tanggal 25 Juni
2011
Sujarwo,Susila.2011.Penerapan
Teknik Sinkronisasi Birahi Pada Kerbau Dan Problemanya.Dinas Peternakan
Propinsi Sulawesi Selatan
Sangat membantu, terimakasih banyak!
BalasHapusNice
BalasHapus