Rabu, 19 Februari 2014

TEKNIK SINKRONISASI ESTRUS PADA SAPI


PENDAHULUAN
Dalam budidaya sapi potong maupun sapi perah, adanya penampilan reproduksi optimum merupakan hal yang paling menentukan keberhasilan produktivitasnya. Salah satu penampilan reproduksi optimum yang dimaksud adalah jarak beranak (calving interval) optimum dengan kisaran 12 – 15 bulan untuk kondisi peternakan rakyat di Indonesia. Hasil penampilan reproduksi optimum dapat dicapai bila program pengawinan (breeding) alami maupun penggunaan inseminasi buatan (IB) dilakukan dengan tepat saat setelah usia pubertas pada sapi dara atau segera setelah fase pasca beranak pada sapi induk. Sapi perah atau sapi potong diharapkan kawin kembali dalam waktu 2 – 3 bulan setelah beranak, sehingga sapi dapat bunting kembali dalam waktu 3 – 4 bulan pasca beranak. Kasus infertilitas yang menonjol pada sapi perah dan sapi potong rakyat di Indonesia adalah tingginya kejadian anestrus post partum (tidak birahi pasca beranak). Kejadian ini mengakibatkan terlambatnya kawin kembali pasca beranak, sehingga panjangnya beranak melebihi 18 bulan.
Peningkatan mutu genetik sapi potong dan perah di Indonesia sudah lama diupayakan oleh pihak pemerintah, dengan introduksi teknologi reproduksi inseminasi buatan (IB) secara komersial sejak 1976. Keunggulan teknologi IB pada sapi antara lain efisiensi pemanfaatan pejantan unggul, peningkatan mutu genetis sapi-sapi lokal, dimungkinkan perkawinan silang antar bangsa, dihindari penyakit menular yang ditularkan lewat perkawinan alam (sexually transmissible diseases), dimungkinkan pemilihan semen pejantan tertentu dan peningkatan efisiensi pemuliabiakan (breeding efficiency) sapi perah dan potong. Dengan aplikasi inseminasi buatan juga dimungkinkan persilangan antar bangsa sapi berbeda, yang secara alami tidak mungkin dilakukan akibat perbedaan ukuran berat badan.

Kelemahan aplikasi teknologi IB penting untuk diperhatikan, antara lain memerlukan infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadai, kalau dilakukan dengan kurang cermat akan memudahkan menimbulkan infertilitas sapi betina, sangat mungkin terjadi kasus kawin silang dalam (inbreeding) bila pencatatan atau rekording tidak tertib, serta merupakan wahana penularan penyakit menular yang sangat efektif bila pejantannya mengidap penyakit infeksi menular.

Kendala dalam pelaksanaan aplikasi IB pada sapi perah dan potong milik rakyat di Indonesia yang paling umum terjadi adalah sulitnya pengenalan birahi (estrus) pada sapi. Birahi sapi sering sulit dikenali karena banyaknya kasus anestrus, birahi tenang (silent heat, subestrus), sehingga menimbulkan masalah sulitnya pengenalan atau deteksi birahi yang tidak tepat, akibatnya terjadi ketidaktepatan waktu inseminasi, dan akhirnya terjadi kegagalan fertilisasi. Inseminasi buatan yang dilakukan diluar saat birahi sesungguhnya (standing heat) di samping tidak akan menghasilkan konsepsi juga sangat berresiko menimbulkan infeksi dan peradangan endometrium (endometritis). Kendala lain yang menyebabkan kegagalan konsepsi pada aplikasi IB di Indonesia adalah banyaknya kasus tersembunyi, berupa proses ovulasi tertunda (delayed ovulation), yang juga akhirnya menyebabkan kegagalan fertilisasi.

Untuk mengatasi permasalahan aplikasi inseminasi buatan menuju ke optimalisasi hasil konsepsinya telah dikembangkan teknik sinkronisasi estrus atau penyerentakan birahi dengan memanipulasi pola hormon reproduksinya. Sinkronisasi estrus yang dimaksud sebetulnya adalah penyerentakan birahi pada sekelompok ternak yang diikuti dengan proses ovulasi yang fertil. Adapula istilah induksi estrus yang bermakna sama dengan sinkronisasi estrus, namun pengertiannya hanya aplikasi pada ternak secara individual, bukan secara masal atau kelompok. Peternakan sapi perah dan potong di Indonesia sudah secara insidentil mulai melakukan aplikasi sinkronisasi estrus dalam skala terbatas.

Dalam melakukan sinkronisasi estrus sapi harus lebih dahulu dipahami mengenai faal dan endokrinologi reproduksi, fungsi ovaria termasuk perkembangan folikel dominan dan fungsi korpus luteum. Buku ajar ini memaparkan tentang teori dasar dari sinkronisasi estrus untuk sapi, serta modifikasinya yang sesuai dengan kondisi peternakan sapi rakyat di Indonesia berdasarkan pengalaman penyusun sebagai praktisi reproduksi sapi perah maupun sapi potong.

Fungsi Korpus Luteum

Korpus luteum merupakan suatu kelenjar endokrin yang berkembang dari folikel Graaf setelah ovulasi, berasal dari sel-sel teka dan granulosa. Peran utama korpus luteum adalah sintesa dan sekresi progesteron untuk pemeliharaan kebuntingan dan pengaturan siklus estrus. Sintesa dan sekresi progesteron diatur oleh mekanisme luteotropik dan luteolitik. Karena stimuli luteotropik dan luteolitik terjadi berganti-ganti selama siklus estrus dan kebuntingan, maka stimuli dan hambatan sintesa dan sekresi progesteron pada keseimbangan stimuli ini.

Korpus luteum sapi mempunyai 2 tipe sel yang berbeda: sel-sel lutea m, dan sel-sel lutea kecil, denganmbesar, dengan diameter 30 – 50  m, keduanya mempunyai kemampuan sekresi progesteron.mdiameter 15 – 20  Jumlah sel-sel lutea besar lebih sedikit dibanding dengan sel-sel lutea kecil, dengan perbandingan 1 : 20, namun volume total sel-sel besar lebih banyak dibanding dengan sel-sel lutea kecil, perbandingan 30% : 16% dari seluruh volume korpus luteum. Pada korpus luteum sapi, sel-sel lutea kecil berasal dari sel-sel teka dan sel-sel besar berasal dari sel-sel granulosa.

Kelenjar pituitari anterior menghasilkan LH yang dianggap sebagai hormon luteotropik primer pada sapi. Progesteron disekresi dalam pola pulsatil dengan frekuensi lebih tinggi daripada pembebasan LH. Hampir setiap pulsatil FSH pada awal atau pertengahan fase lutea pada sapi diikuti dengan pulsatil progesteron. Ada hubungan antara pulsatil FSH dan pembebasan progesteron, sehingga di samping LH, juga FSH diduga mempunyai sifat luteotropik atau membantu pertumbuhan korpus luteum.

Jaringan lutea memperoleh sebagian besar aliran darah ovaria. Aliran darah ke jaringan lutea dan sekresi progesteron berkaitan sangat erat selama siklus estrus. Korpus luteum mampu menghasilkan progesteron dalam jumlah besar dalam waktu beberapa hari setelah ovulasi, sehingga perluasan jaringan vaskuler oleh sel-sel granulosa juga terjadi dengan cepat. Mendekati ovulasi, membran dasar dari folikel preovulasi sobek dan pembuluh-pembuluh darah dari teka interna menembus lapisan sel-sel granulosa. Lapisan sel-sel granulosa diinvasi oleh kapiler-kapiler darah dalam waktu beberapa jam setelah ovulasi. Perluasan jaringan vaskuler oleh korpus luteum diduga karena faktor angiogenik dalam jaringan lutea sapi

PRINSIP SINKRONISASI ESTRUS PADA SAPI
Tujuan dan Manfaat Sinkronisasi Estrus

Sinkronisasi atau induksi estrus adalah tindakan menimbulkan birahi, diikuti ovulasi fertil pada sekelompok atau individu ternak dengan tujuan utama untuk menghasilkan konsepsi atau kebuntingan. Sinkronisasi estrus biasanya menjadi satu paket dengan pelaksanaan IB, baik berdasarkan pengamatan birahi maupun IB terjadwal (timed artificial insemination). Angka konsepsi atau kebuntingan yang optimum merupakan tujuan dari aplikasi sinkronisasi estrus ini.
1.      Manfaat dari tindakan sinkronisasi estrus pada sapi ada beberapa, antara lain:
Optimalisasi dan efisiensi pelaksanaan IB. Dengan teknik ini dimungkinkan pelaksanaan IB secara massal pada suatu waktu tertentu.

2.      Mengatasi masalah kesulitan pengenalan birahi. Subestrus atau birahi tenang yang umum terjadi pada sapi perah dan potong di Indonesia dapat diatasi dengan teknik sinkronisasi estrus.
3.      Mengatasi masalah reproduksi tertentu, misalnya anestrus post partum (anestrus pasca beranak).
4.      Fasilitasi program perkawinan dini pasca beranak (early post partum breeding) pada sapi potong dan perah. Teknik ini dapat digunakan untuk mempercepat birahi kembali pasca beranak, pemendekkan days open (hari-hari kosong) dan pemendekkan jarak beranak.
Manajemen reproduksi resipien pada pelaksanaan transfer embrio sapi. Dalam program transfer embrio, embrio beku maupun segar (diambil dari sapi donor pada hari ke 7 setelah estrus) ditransfer ke resipien pada fase siklus estrus yang sama. Sinkronisasi estrus biasanya digunakan untuk maksud tersebut.

Persyaratan Sinkronisasi Estrus

Pelaksanaan sikronisasi estrus pada sapi membutuhkan persyaratan tertentu untuk mendapatkan hasil yang optimum. Persyaratan tersebut antara lain:

1.      Sapi dalam keadaan tidak bunting. Hal ini sangat penting, karena kalau sampai sapi bunting diberi perlakuan sinkronisasi estrus, akan berakibat keluron atau abortus. Pemeriksaan kebuntingan dan alat reproduksi sebelum perlakuan harus dilakukan secara cermat untuk memastikan bahwa hewan tidak dalam keadaan bunting.
2.      Hewan harus mempunyai kesehatan alat reproduksi yang baik. Adanya peradangan alat reproduksi, endometritis, metritis, vaginitis, akan sangat berpengaruh pada hasil konsepsinya. Pemeriksaan klinis alat reproduksi perlu dilakukan sebelum dilakukan perlakuan sinkronisasi estrus.
3.      Body condition score (BCS) hewan optimum, antara 3,0 – 3,5. Sinkronisasi estrus pada sapi dengan BCS Begitu pula sapi dengan BCS terlalu tinggi > 4 juga berresiko rendahnya angka konsepsi.
4.      Khusus untuk sinkronisasi estrus menggunakan prostaglandin F2a, hewan harus mempunyai korpus luteum pada salah satu ovariumnya. Pemeriksaan  adanya korpus luteum angat diperlukan, mengingat PGF2a target mempunyai organ korpus luteum. Sapi yang bersiklus estrus namun belum mempunyai korpus luteum maka perlakuannya ditunda sampai terbentuk korpus luteum yang berukuran cukup besar.
5.      Sebelum dan setelah perlakuan sinkronisasi estrus, hewan harus diberi pakan yang memadai dalam kualitas dan kuantitasnya, dihindarkan dari stres, karena hal tersebut sangat berpengaruh pada hasil respon hormonal hewan.

Persyaratan tersebut di atas sangat menentukan keberhasilan sinkronisasi estrus dan ovulasi yang fertil, sehingga setelah perlakuan IB akan terjadi ovulasi, fertilisasi dan nidasi, serta menghasilkan kebuntingan maksimum.

DASAR TEORI SINKRONISASI ESTRUS PADA SAPI

Sinkronisasi estrus
Suatu cara untuk mengatasi problema sulitnya deteksi berahi yaitu dengan cara penerapan teknis sinkronisasi birahi, baik dengan menggunakan sediaan Progesteron dan Prostaglandin (PGF2a). Dengan tehnik ini problema deteksi berahi dapat dieliminir, sehingga pelaksanaan inseminasi buatan dapat dioptimalisasi.
Penyerentakan berahi atau sinkronisasi estrus adalah usaha yang bertujuan untuk mensinkronkan kondisi reproduksi ternak sapi donor dan resipien. Sinkronisasi estrus umumnya menggunakan hormon prostaglandin (PGF2a) atau kombinasi hormon progesteron dengan PGF2a. Penggunaan teknik sinkronisasi berahi akan mampu meningkatkan efisiensi produksi dan reproduksi kelompok ternak, serta mengoptimalisasi pelaksanaan inseminasi buatan, mengurangi waktu dan memudahkan observasi deteksi berahi, dapat menentukan jadwal kelahiran yang diharapkan, menurunkan usia pubertas pada sapi dara, penghematan dan efisiensi tenaga kerja inseminator karena dapat mengawinkan ternak pada suatu daerah pada saat yang bersamaan.

Kesuksesan program sinkronisasi membutuhkan pengetahuan mengenai siklus berahi. Hari ke-0 dari merupakan hari pertama estrus, pada saat ini biasanya perkawinan secara alami terjadi. Hormon estrogen mencapai puncaknya pada hari ke-1 dan kemudian menurun, level progesteron rendah karena Corpus Luteum (CL) belum terbentuk. Ovulasi terjadi 12-16 jam setelah akhir standing estrus. CL yang menghasilkan hormon progesteron terbentuk pada tempat ovulasi dan secara cepat mengalami pertumbuhan mulai dari hari ke-4 sampai ke-7, pertumbuhan ini diikuti dengan peningkatan level progesteron. Mulai hari ke-7 sampai ke-16, CL menghasilkan progesteron dalam level tinggi.

Selama periode ini, 1 atau 2 folikel mungkin menjadi besar, tetapi dalam waktu yang singkat akan mengalami regresi, kira-kira hari ke-16, prostaglandin dilepaskan dari uterus dan menyebabkan level progesteron menjadi turun. Ketika level progesteron menurun, level estrogen meningkat dan folikel baru mulai tumbuh, estrogen mencapai puncaknya pada hari ke-20, diikuti tingkah laku estrus pada hari ke-21. Pada saat ini siklus estrus kembali dimulai.

Proses sinkronisasi dengan menggunakan preparat prostaglandin (PGF2a) akan menyebabkan regresi CL akibat luteolitik, secara alami prostaglandin (PGF2a) dilepaskan oleh uterus hewan yang tidak bunting pada hari ke-16 sampai ke-18 siklus yang berfungsi untuk menghancurkan CL. Timbulnya berahi akibat pemberian PGF2a disebabkan lisisnya CL oleh kerja vasokontriksi PGF2a sehingga aliran darah menuju CL menurun secara drastis, akibatnya kadar progesteron yang dihasilkan CL dalam darah menurun, penurunan kadar progesteron ini akan merangsang hipofisa anterior melepaskan FSH dan LH, kedua hormon ini bertanggung jawab dalam proses folikulogenesis dan ovulasi, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Folikel-folikel tersebut akhirnya menghasilkan hormon estrogen yang mampu memanifestasikan gejala berahi. Kerja hormon estrogen adalah untuk meningkatkan sensitivitas organ kelamin betina yang ditandai dengan perubahan pada vulva dan keluarnya lendir transparan.

Prosedur Sinkronisasi Berahi Sinkronisasi berahi pada kerbau seperti pada sapi, paling umum menggunakan prostaglandin atau senyawa analognya. Dengan tersedianya prostaglandin di pasaran memungkinkan pelaksanaan sinkronisasi berahi di lapangan beberapa senyawa prostaglandin yang tersedia antara lain 1) Reprodin (Luprostiol, Bayer, dosis 15 mg), 2) Prosolvin (Luprostiol, Intervet, dosis 15 mg), 3) Estrumate (Cloprostenol, ICI, dosis 500 μg) dan Lutalyse (Dinoprost, Up John, dosis 25 mg). Cara standar sinkronisasi berahi meliputi 2 kali penyuntikan prostaglandin dengan selang 10-12 hari. Berahi akan terjadi dalam waktu 72-96 jam setelah penyuntikan kedua.

Pelaksanaan inseminasi dilakukan 12 jam setelah kelihatan berahi, atau sekali pada 80 jam setelah penyuntikan kedua. Prosedur yang digunakan adalah: Ternak yang diketahui mempunyai corpus luteum (CL), dilakukan penyuntikan PGF2a satu kali. Berahi biasanya timbul 48 sampai 96 jam setelah penyuntikan. Apabila tanpa memperhatikan ada tidaknya CL, penyuntikan PGF2a dilakukan dua kali selang waktu 11-12 hari. Setelah itu dilakukan pengamatan timbul tidaknya berahi 36-72 jam setelah peyuntikan kedua. Pemberian PGF2á analog dapat menyebabkan luteolisis melalui penyempitan vena ovarica yang menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam ovarium. Berkurangnya aliran darah ini menyebabkan regresi sel-sel luteal. Regresi sel-sel luteal menyebabkan produksi progesteron menurun menuju kadar basal mendekati nol nmol/lt, dimana saat-saat terjadinya gejala berahi. Regresi korpus luteum menyebabkan penurunan produksi progesteron (Husnurrizal. 2008).

PENUTUP

Teknik sinkronisasi estrus pada sapi baik dengan berbasis penggunaan PGF2a  maupun implan progestagen intravagina dapat digunakan untuk perbaikan efisiensi reproduksi sapi perah dan potong pada peternakan rakyat di Indonesia. Inseminasi buatan terjadwal mengikuti sinkronisasi estrus memberikan angka konsepsi yang sama dengan perlakuan pada birahi alami. Biaya yang harus dikeluarkan oleh peternak sapi masih jauh lebih kecil dibanding dengan kerugian bila tanpa aplikasi teknik ini. Teknik ini sangat layak untuk diaplikasikan ke sapi milik rakyat, karena dapat memberikan peningkatan performan reproduksi serta menghindarkan kerugian lebih lanjut karena masalah subfertilitas maupun infertilitas yang tidak perlu. Performan reproduksi yang dengan sangat nyata dihasilkan dari aplikasi ini, adalah pemendekan jarak beranak, dari beranak tiap 18 – 20 bulan menjadi 12 – 15 bulan.
Pemilihan metode sinkronisasi menggunakan PGF2a atau implan progesterone intravagina berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain ada tidaknya korpus luteum dan status siklus estrusnya. Kedua metode mempunyai spesifitas masing-masing, namun memiliki tingkat biaya yang hampir sama, begitu pula dengan fertilitas dan hasil konsepsinya. Tingkat konsepsi dari teknik sinkronisasi estrus dikatakan optimum bila hasil inseminasi buatannya sama dengan dari estrus alami, yakni lebih dari 60%.

Implementasi teknik sinkronisasi estrus secara luas diharapkan dapat meningkatkan kinerja reproduksi sapi, meningkatkan produktivitas sapi, meningkatkan penghasilan peternak dan membantu program pemerintah dalam swasembada susu dan daging.


DAFTAR REFERENSI

Anonim., 2008. Inseminasi Buatan (IB) atau Kawin Suntik. http://www.vet-klinik.com powered. 5 january, 2009, 12:52

Husnurrizal. 2008. Sinkronisasi birahi dengan preparat hormon prostaglandin (pgf2a). Lab. Reproduksi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. (http://www.foxitsoftware.com).




Sujarwo,Susila.2011.Penerapan Teknik Sinkronisasi Birahi Pada Kerbau Dan Problemanya.Dinas Peternakan Propinsi Sulawesi Selatan

2 komentar: